ANALISIS PENGARUH SIG DALAM KEMAJUAN FISHING GROUND
ABSTRAK
Sistem Informasi Geografis atau SIG merupakan sistem komputer yang digunakan dalam mengolah, mengelola, menganalisis serta memanipulasi informasi–informasi geografis dengan tujuan utamanya yaitu melakukan analisis data spasial. SIG sangat bermanfaat dalam membantu perkembangan eksploitasi daerah penangkapan (Fishing Ground), salah satu nya ialah pembuatan zonasi jalur penangkapan ikan yang di ambil dari jurnal akuatika vol. III no. 1. Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdaya bersama (common property) yang rawan terhadap over fishing dan dalam pemanfaatannya dapat menyebabkan konflik. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menghindari terjadinya konflik pemanfaatan adalah dengan mengendalikan perkembangan kegiatan penangkapan ikan melalui penerapan zonasi jalur penangkapan ikan di laut, berdasarkan Kepmentan No. 392 tahun 1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan.
kata kunci : Fishing Ground, jalur penangkapan ikan, konflik, SIG
I. PENDAHULUAN
Sumberdaya
ikan dikenal sebagai sumberdaya bersama (common
property) yang rawan terhadap over
fishing dan dalam pemanfaatannya dapat menyebabkan konflik. Terjadinya
konflik merupakan akibat dari ketidak jelasannya wilayah pemanfaatan itu,
karena dapat melibatkan nelayan dalam satu daerah yang ataupun antara daerah
yang satu dengan yang lain. Konflik
nelayan juga terjadi antara nelayan setempat dengan nelayan andon yang umumnya
disebabkan perbedaan alat tangkap yang dipergunakan dan pelanggaran daerah
penangkapan.
Sistem
Informasi Geografis atau SIG merupakan sistem komputer yang digunakan dalam
mengolah, mengelola, menganalisis serta memanipulasi informasi–informasi geografis
dengan tujuan utamanya yaitu melakukan analisis data spasial. Pemanfaatan
sumberdaya ikan di laut semakin intensif dan daya jangkauan operasi penangkapan
ikan oleh para nelayan semakin luas dan jauh dari daerah asal nelayan tersebut.
Konflik sering terjadi karena tidak jelasnya wilayah pemanfaatan yaitu dapat
melibatkan nelayan dalam satu daerah yang sama ataupun antara daerah yang satu
dengan dengan daerah lainnya. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah
dalam menghindari terjadinya konflik pemanfaatan adalah dengan mengendalikan
perkembangan kegiatan penangkapan ikan melalui penerapan zonasi jalur
penangkapan ikan di laut, berdasarkan Kepmentan No. 392 tahun 1999 tentang
jalur-jalur penangkapan ikan.
Wilayah yang
menjadi objek studi ini adalah Perairan Kalimantan Barat yang merupakan salah
satu fishing ground yang sangat berpotensi, terletak di Selat Karimata hingga
Laut Cina Selatan dan berbatasan langsung dengan perairan Malaysia.
Tujuan dari
studi ini adalah untuk menggambarkan peta zona jalur penangkapan ikan di
wilayah perairan Kalimantan Barat.
II. METODE
Bahan yang
digunakan dalam studi ini meliputi: 1) data spasial berupa Peta Rupa Bumi
Indonesia skala 1:25.000, peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) yang didapatkan
dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), peta
batimetri skala 1:50.000 dan data Pasang Surut yang diperolehkan dari Dinas
HidroOseanografi Angkatan Laut (Dishidros-AL). 2) Peraturan perundang-undangan
berupa Kepmentan No. 392 Tahun 1999, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 18 yang mengatur wilayah kewenangan daerah
kabupaten (sejauh 0-4 mil laut) dan kewenangan daerah propinsi (sejauh 4-12 mil
laut). Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No. 17 Tahun 2006 tentang usaha
perikanan tangkap.
Untuk
pengolahan data digunakan perangkat keras yaitu: personal computer (PC),
printer warna and scanner, sedangkan perangkat lunak berupa software ArcGIS
9.x, Ms. Excel, and Ms. Word.
Metode yang
digunakan dalam studi ini adalah pendekatan SIG dengan teknik analisis spasial
yaitu teknik yang dipergunakan dalam menganalisa kajian keruangan/spasial.
Overlay atau tumpang susun peta atau superimposed peta digunakan untuk
menentukan kendala, daerah limitasi dan kemungkinan pengembangan dalam
penyusunan peta jalur penangkapan di perairan Kalimantan Barat. Buffering dan
query berguna untuk menampilkan, mengubah, dan menganalisis data. Spasial query
merupakan peran yang penting sesuai dengan tujuan atau kebutuhan para
penggunanya.
III. HASIL DAN DISKUSI
Dalam Kepmentan No. 392 Tahun 1999
menjelaskan bahwa wilayah perairan administrasi daerah Propinsi dibagi menjadi
3 (tiga) jalur penangkapan ikan yaitu jalur Ia (0- 3 mil laut), jalur Ib (3-6
mil laut), jalur II (6- 12 mil laut) dan jalur III (12 mil laut-ZEEI).
Implementasi kebijakan tersebut dalam format spasial yang divisualisasikan
dalam bentuk peta jalur (Gambar 1) mempunyai beberapa ketimpangan, antara lain
yaitu: penentuan batas pulau-pulau terluar yang masih rancu yaitu masih
terdapatnya karang-karang kering yang berpotensi menjadi batas wilayah serta
penentuan jarak minimum antar titik tersebut. Selain itu juga, implementasi di
lapangan dirasakan kurang bahkan cenderung tidak efektif, salah satu kelemahan
yaitu belum tervisualisasikan atau terpetakan secara baik dalam suatu sajian
peta jalur penangkapan ikan yang informatif. Peta implemetasi Kepmentan No. 392
Tahun 1999 yang dihasilkan berisi jalur-jalur penangkapan ikan wilayah perairan
Kalimantan Barat disertai dengan titik pangkal (TP) kewenangan propinsi.
Berdasarkan peta LLN teridentifikasi 14 TP (Tabel 1) yang membatasi kewenangan
wilayah perairan Kalimantan Barat.
Tabel 1. Daftar Titik Pangkal
Kewenangan Propinsi Kalbar
TP
|
LINTANG
|
BUJUR
|
1
|
2° 07’ 57.5”
LU
|
109° 36’
12.9” BT
|
2
|
2° 07’ 53.7”
LU
|
109° 36’
02.8” BT
|
3
|
2° 07’ 48.9”
LU
|
109° 35’
53.2” BT
|
4
|
1° 59’ 06.5”
LU
|
109° 18’
14.4” BT
|
5
|
1° 34’ 36.2”
LU
|
109° 02’
48.7” BT
|
6
|
0° 50’ 41.5”
LU
|
108° 40’
46.4” BT
|
7
|
0° 50’ 28.8”
LU
|
108° 40’
43.5” BT
|
8
|
0° 10’ 31.3”
LU
|
108° 35’
2.60” BT
|
9
|
1° 14’ 29.1”
LS
|
108° 51’
39.1” BT
|
10
|
1° 31’ 12.0”
LS
|
108° 43’
1.70”BT
|
11
|
1° 39’ 53.1”
LS
|
108° 39’
48.4” BT
|
12
|
2° 55’ 19.5”
LS
|
110° 04’
42.5” BT
|
13
|
3° 01’ 47.9”
LS
|
110° 16’
54.2” BT
|
14
|
14 3° 04’
14.6” LS
|
110° 38’
30.6” BT
|
Dasar penarikan jalur penangkapan ikan tersebut yaitu penentuan garis pangkal kewenangan propinsi yang ditarik dari TP yang telah teridentifikasi sebelumnya yang didasarkan pada peta lingkungan laut nasional (LLN) Bakosurtanal produksi Tahun 2005.
Gambar 1. Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmentan No. 392 Tahun 1999.
Merujuk dari hasil yang yang digambarkan
pada Gambar 1, kemudian dicoba
mengelaborasi sejauh mana visualisasi
khususnya secara spasial dari Kepmentan No.
392 Tahun 1999. Untuk itu dianalisis lebih
lanjut dengan menggunakan referensi hukum
dalam penentuan batas wilayah kewenangan
daerah yang telah lebih dahulu diterapkan
secara nasional seperti Peraturan-Perundangan
No. 38 Tahun 2002 Pasal 10 tentang
Penentuan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
dan Permendagri No. 1 Tahun 2006 Pasal 10
tentang Pedoman Penegasan Batas Laut
(Gambar 2).
Gambar 2. Peta Modifikasi Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmentan No. 392 Tahun 1999
Salah satu produk hukum setelah
bergulirnya otonomi daerah mulai dari tingkat
administrasi propinsi yaitu Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah khususnya Pasal 18 yang mengatur
wilayah kewenangan daerah kabupaten
(sejauh 0-4 mil laut) dan kewenangan daerah
propinsi (sejauh 4-12 mil laut). Hal ini
didukung pula dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Pasal 12,18,19
tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Peta implemetasi Kepmentan UU
Nomor 32 Tahun 2004 yang dihasilkan
(Gambar 3) berisi jalur-jalur penangkapan
ikan wilayah perairan Kalimantan Barat
berdasarkan kewenangan daerah otonom. Jika
dicermati secara seksama terdapat perbedaan
mendasar merujuk pada Kepmentan No. 392
Tahun 1999, khususnya pembagian jalur
kewenangan kabupaten. Tahapan identifikasi
daerah rawan konflik merupakan tahapan
penting dalam pembuatan alternatif jalur penangkapan ikan, mengingat tipe perairan
Kalimantan Barat dominan dangkal dimana
sampai dengan jarak 12 mil laut dari garis
pangkal propinsi, kedalaman masih berkisar
50 meter.
Gambar 3. Peta Kewenangan Pengelolaan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan Permentan KP
No. 17 Tahun 2006.
Berdasarkan hasil pemetaan (Gambar
4), teridentifikasi beberapa lokasi rawan
konflik yaitu diantaranya perairan pedalaman
yang belum dibahas dan tergambarkan dalam
Kepmentan No. 392 Tahun 1999, daerah
perbatasan antar negara yaitu bagian utara
propinsi Kalimantan Barat yang berbatasan
dengan Malaysia, daerah ekosistem terumbu
karang dengan kedalaman kurang dari 20
meter yang masuk dalam jalur I penangkapan
ikan (Ia dan Ib) yaitu di sekitar gugus pulau
Karimata dan Jangkat Linge (bagian selatan
Propinsi Kalimantan Barat) dan daerah
perbatasan langsung antar propinsi yaitu
perbatasan dengan propinsi Kalimantan
Tengah (Tanjung Nipa). Selain itu juga,
kenyataan di lapangan terjadi overlaping
dimana nelayan-nelayan skala besar dengan
alat dan mesin yang seharusnya beroperasi di
jalur II juga masuk dan beroperasi di Jalur Ia
dan jalur Ib yang sangat merugikan nelayan
kecil.
Setelah mempelajari secara seksama,
zonasi yang dihasilkan mulai dari
implementasi penggambaran spasial
Kepmentan No. 392 Tahun 1999 tentang jalurjalur penangkapan ikan, visualisasi spasial
spasial UU No. 32 Tahun 2004 didukung
dengan Peraturan Menteri Perikanan dan
Kelautan No. 17 Tahun 2006 tentang usaha perikanan tangkap dan identifikasi daerahdaerah rawan konflik perairan Kalimantan
Barat, baik kelebihan dan kekurangan dari
masing masing peraturan yang ada dihasilkan
peta alternatif jalur penangkapan ikan wilayah
perairan Kalimantan Barat (Gambar 5).
Gambar 4. Peta Rawan Konflik Wilayah Perairan Kalimantan Barat.
Peta alternatif ini telah
mempertimbangkan parameter jarak dan
kedalaman (isobath) disertai dengan beberapa
asumsi dan pembatasan. Adapun asumsiasumsi yang digunakan antara lain yaitu :
§ Jalur I dengan jarak maksimal 4 mil laut
diukur dari garis pangkal kewenangan
propinsi.
§ Jalur II dengan jarak maksimal 12 mil laut
diukur dari batas jalur I (4 mil laut).
§ Jika dalam jalur I terdapat daerah dengan
kedalaman kurang dari atau sama dengan
20 meter dan daerah tersebut berada di
jalur II, maka daerah tersebut masuk
dalam jalur I.
§ Jika dalam jalur II terdapat daerah dengan
kedalaman 20 meter dan atau sampai di
luar jalur 20 meter ke arah luar, maka
akan menjadi daerah atau zona konservasi
dengan tanda bendera warna merah di
lapangan.
§ Jalur III diukur dari batas terluar jalur II
sampai ZEEI dan tidak melampaui jalur II
batasan kewenangan Propinsi lain.
§ Daerah di dalam garis pangkal
kewenangan propinsi disebut sebagai
perairan pedalaman dan masuk dalam
kategori jalur I.
Gambar 5. Peta Alternatif Jalur Penangkapan Ikan
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
studi ini adalah :
1. Dengan aplikasi SIG maka tergambarkan
bahwa Kepmentan No. 392 Tahun 1999
mempunyai beberapa ketimpangan, antara
lain yaitu: Penentuan batas pulau pulau
terluar yang masih rancu yaitu masih
terdapatnya karang-karang kering yang
berpotensi menjadi batas wilayah serta
penentuan jarak minimum antar titik
tersebut, teridentifikasi lokasi rawan
konflik seperti wilayah perairan
pedalaman yang belum dibahas dan
tergambarkan dalam Kepmentan 392
Tahun 1999, daerah ekosistem terumbu
karang dengan kedalaman kurang dari 20
meter yang masuk dalam jalur I
penangkapan ikan.
2. Dihasilkan peta alternatif jalur-jalur
penangkapan ikan wilayah perairan
Kalimantan dengan mempertimbangkan
parameter jarak dan kedalaman (isobath)
disertai dengan beberapa asumsi dan
pembatasan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsana, I. M. A. 2007. The Delineation Of
Indonesia’s Outer Limits Of Its
Extended Continental Shelf And
Preparation For Its Submission: Status
And Problems. Division For Ocean
Affairs And The Law Of The Sea Office
Of Legal Affairs, The United Nations.
New York.
ESRI. 1999. GIS for School and Libraries
Version 5, Environmental Research
Institute.
Monintja. D dan R. Yusfiandayani. 2009.
Pemanfaatan Sumberdya Pesisir
Dalam Bidang Perikanan Tangkap.
Prosiding Pelatihan Pengelolaan
Wlayah Pesisir Terpadu. Institur
Pertanian Bogor. Bagor.
Pramudya. A. 2008. Kajian Pengelolaan
Daratan Pesisir Berbasis Zonasi Di
Provinsi Jambi. Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro. Semarang.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia,
Jakarta.
Harahap. S. A. dan Yanuarsah, I., 2012. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk Zonasi Jalur Penangkapan Ikan di Perairan Kalimantan Barat. Jurnal Akustika vol. III no. 1.
Komentar
Posting Komentar